Select Menu
Powered by Blogger.

Entri Populer

Translate

» » » » Mempertahankan tradisi peninggalan nenek moyang Miskin Bukan Halangan
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

 Mungkin satu-satunya yang membuat orang sekitar tertarik adalah semangatnya mempertahankan tradisi peninggalan nenek moyang.



Sebuah bangunan sederhana di Pedukuhan Kauman, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Bantul terlihat sepi dari luar.

Hanya ada beberapa siswa yang bercengkerama dengan pemilik rumah, Marijo, 73. Mereka asyik memainkan sejumlah tokoh wayang golek yang berada di ruang tamu rumah berdinding batu bata belum diplester tersebut. Siang itu, meski rambutnya sudah memutih semua, wajahnya jauh lebih muda dibanding umur sebenarnya.

Dari luar, orang akan menyangka Marijo baru berusia 60-an tahun. Padahal sejatinya dia sudah berkepala tujuh. Tak banyak orang di sekitarnya bercengkerama dengan Marijo. Mungkin ini dikarenakan dirinya dianggap aneh oleh masyarakat sekitar. Sejak lahir hingga memasuki usia 73 tahun, dia masih setia hidup melajang.

Marijo mengaku tidak memiliki hasrat dunia sedikit pun, termasuk memiliki istri yang bisa menemaninya hingga akhir hayat. “Untuk bahagia, saya memang menanggalkan keinginan duniawi,” tutur pria berjenggot putih ini.

Puluhan tahun laki-laki ini setia menekuni kepandaiannya membuat wayang golek. Himpitan ekonomi yang mendera tidak membuat laki-laki ini menggadaikan idealismenya dalam membuat wayang golek. Dia tak menggubris apa yang kini tengah dikejar oleh seniman-seniman lain di DIY.

Meskipun sebagian besar para pelaku dan pelestari seni dan budaya di DIY sudah mulai mendapatkan cipratan dari Dana Keistimewaan Yogyakarta, sebagian pelaku seni dan budaya lainnya masih harus bertahan di tengah himpitan ekonomi, seperti Marijo ini. Dia tetap berupaya terus melestarikan seni dan budaya tradisional, meski harus tertatih karena terkendala keadaan perekonomiannya.

“Mau apalagi? Yang penting hati saya tenteram,” ujarnya. Marijo termasuk unik. Dia bisa membuat wayang golek, tapi tidak lantas terobsesi mendapatkan rezeki dari kepandaiannya tersebut. Siang itu, terlihat puluhan kepala wayang golek baik wayang golek purwa atau pewayangan maupun wayang golek kethoprak.

Namun sayang, dari puluhan wayang golek buatannya hanya ada beberapa saja yang telah jadi sempurna. Sementara puluhan lainnya harus teronggok di karung plastik karena ketiadaan biaya untuk menyelesaikan. Meskipun beberapa di antaranya sudah teronggok selama bertahun- tahun, Marijo tak berusaha menyelesaikannya.

Alasannya, jangankan untuk menyelesaikan pembuatan wayang, untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja dia sangat cukup kesulitan. “Saya tidak tahu sampai kapan bisa menyelesaikannya. Akan tetapi saya bertekad harus menyelesaikannya,” ucapnya. Marijo sudah sejak 1972 menekuni seni pewayangan. Saat itu ia sudah bisa menatah wayang kulit.

Namun baru pada awal 2000-an ia memberanikan diri membuat wayang golek dengan berbagai kayu yang tersedia di sekitar rumahnya. Untuk membuat wayang golek sempurna, ia tidak bisa mengungkapkan berapa lama. Karena ia akan meneruskan pekerjaannya ketika memiliki dana cukup. Untuk kehidupan seharihari, dia mengandalkan hidupnya dari buruh bertani.

Jika ada tetangganya yang ingin menggunakan jasa Marijo, seperti mencangkul, baru dia bisa mendapatkan rezeki. Setelah itu, dia baru melengkapi wayang-wayang yang sebelumnya dibuat tetapi tetap saja belum sempurna. “Kalau ada yang beli yasaya kasih. Kalau tidak ada yang beli yasaya biarkan begitu saja. Saya simpan dalam lemari,” tuturnya.

Karena idealismenya itu juga, kini pesanan yang masuk ke dirinya sudah dikatakan tidak ada lagi. Namun dia menegaskan akan tetap melanjutkan perjuangannya membuat wayang golek sampai akhir hayatnya. Laku atau tidak, lanjut dia, tidak akan menghambat semangatnya tersebut. Semangatnya mencintai seni budaya leluhur harus menjadi panutan masyarakat Jawa umumnya, dan Yogyakarta khususnya.

Kini, dia hanya bisa berharap agar generasi muda, khususnya anak-anak, bersedia mengenal dan melestarikan seni wayang golek ini. Karena selama ini, wayang golek Mataram memang kalah pamor dibandingkan dengan wayang kulit. Andi, 8, salah satu siswa SD yang kebetulan memainkan wayang golek mengatakan, dia memang sering kali main ke tempat Marijo hanya melihat aktivitas Marijo membuat wayang golek.

Dia kagum dengan kepiawaian Marijo menggunakan pisau tajam untuk mengubah sebuah kayu menjadi tokoh wayang. “Kalau pulang sekolah saya kadang mampir ke sini. Kalau tidak lihat Mbah Marijo membuat wayang, saya juga sering belajar memainkannya,” ujarnya.



Terimah kasih telah berkunjung ke blog kami dan semoga article ini bermanfaat

Good Luck Dan tetimah kasih berkunjung ke blog : http://gaknyangkah.blogspot.com/

About MUSIC ZZ

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post