Tips Dan Motivator Karyawan sukses
Lantas, bagaimana agar kita mampu meningkatkan produktivitas sebagai seorang karyawan yang pandai? Silakan duduk sejenak, relaks, baca, dan renungkan pelan-pelan beberapa “pengkondisian” berikut ini. Anda boleh setuju maupun tidak.
Dalam istilah bahasa Jawa, ada “pembedaan” jenis kerja berdasar akal dan okol. Okol diterjemahkan sebagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga — buruh, kerja pabrik, pekerja bangunan, dan sejenisnya — sehingga yang paling utama adalah kemampuan tubuh untuk terus bekerja hingga mencapai produktivitas sesuai daya tahan otot-otot tubuh. Sedangkan kerja berdasar akal adalah kerja berbasis otak. Di sini yang berperan paling besar adalah pekerjaan yang membutuhkan pemikiran. Inilah yang menurut profesor ahli konsultan manajemen, Peter Drucker, sering disebut sebagai karyawan pandai alias pekerja dengan dasar pengetahuan.
Memang, belakangan ini pembedaan kerja berdasar akal dan okol sering kali tak bisa dipisahkan secara tegas. Sebab, kerja akal pun sering membutuhkan tenaga dan stamina. Bahkan, kadang kala, kerja berdasar akal ini malah sebenarnya sangat menguras tenaga — dan pemikiran tentunya — melebihi tenaga kerja berbasis okol semata. Untuk itu, bagi yang bekerja dengan dasar pemikiran ini, harus pandai-pandai memaksimalkan (baca: memanfaatkan) waktu untuk meningkatkan produktivitas kerja. Sebab, pola kerja karyawan yang pandai dibanding yang hanya bekerja berdasar tenaga saja memang tak bisa dikuantifikasi dengan cara yang sama. Mengapa? Menurut Alexander Kjerulf, konsultan manajemen SDM, mood sering kali berperanan. Maka, Kjerulf sering menyatakan bahwa sangat manusiawi karyawan pandai menyebut “Ah., sedang tidak mood” atau bahkan, menunda pekerjaan pun sebenarnya bagian dari hal manusiawi seorang karyawan pandai.
Yang jelas, justru di sinilah letak “keunikan” para karywan pandai untuk merespons masukan seputar produktivitas kerja…
• Lupakan jargon “Kerja Keras”
Banyak opini dan kiat-kiat yang ditawarkan, bahwa kerja keras akan mengarahkan kita pada keberhasilan. Tak salah. Tapi, mesin hebat sekelas Ferrari pun butuh istirahat. Salah satu mobil terkencang di jagat itu pun tak bisa lari kencang selamanya. Maka, jika Anda menemukan kata- kata… “Kerja lebih panjang, dan selesaikan lebih banyak pekerjaan”, “Tambahkan orang hebat, maka pekerjaan akan lebih cepat terselesaikan”, “Produktivitas bisa ditingkatkan dengan mengatur jadwal”, camkan baik-baik bahwa mereka yang memberikan wejangan itu pun juga manusia biasa yang pasti pernah lelah, capai, dan tidur. Sadari bahwa kita punya keterbatasan, namun jangan membatasi diri. Di sini kita sendirilah yang bisa menentukan, mana yang paling baik untuk memaksimalkan kerja, mana pula saat harus beristirahat.
• Jangan “terpancing” teori-teori manajemen
Ada banyak buku yang membahas mengenai manajemen SDM. Ada banyak opini dari para pakar bagaimana meningkatkan produktivitas kerja. Silakan camkan baik-baik dan praktikkan. Tapi harus diingat pula bahwa masing-masing orang —termasuk para pakar yang menulis buku itu — sebenarnya punya standar tersendiri dalam menyikapi keadaan.
Akuilah bahwa diri kita sering bekerja maksimal — bahkan nyaris tak tidur — tetapi di saat yang berbeda kita bahkan bekerja sangat minimal, bahkan terasa sangat ingin terus bermalasan. Ini sangat manusiawi. Yang paling bisa kita lakukan adalah “menemukan” di mana batas kita bisa “bernegosiasi” dengan diri sendiri, ukuran waktu kerja yang pantas untuk diri sendiri. Saat mood sedang berada di puncak, silakan kerja semaksimal mungkin. Saat sedang ingin bermalasan, cobalah relaks sejenak. Bisa jadi, saat bermalasan itu malah membuat kita punya pikiran cemerlang yang akan mampu membuat kita bangkit dan segera menyelesaikan semua pekerjaan.
• Jangan paksakan “kerja lembur”
Banyak orang yang bekerja melebihi jam kerja. Bahkan tak jarang sebuah kantor menempelkan poster besar-besar bertuliskan “Pantang datang terlambat, malu pulang lebih cepat!” Tak salah memang. Bahkan, bagi sebagian orang, kerja lembur sudah jadi kebiasaan. Tapi sebenarnya, “kunci” dari sukses seorang karyawan yang pandai justru terletak pada seberapa ideal porsi waktu istirahatnya. Banyak ahli medis menyebut waktu ideal istirahat adalah 8 jam. Dengan istirahat yang cukup, tubuh bisa tetap bugar sehingga kerja otak pun lebih maksimal. Sebuah studi dilakukan oleh Ethan W. Associate, sebuah konsultan SDM yang sudah berdiri sejak 1977 di Amerika Serikat. Menurut perusahaan itu — ketika mereka melakukan penelitian di tahun 1991 — pekerja yang melakukan tugas sepanjang 8 jam sehari, tingkat kesalahan kerja mencapai 10%. Namun, begitu meningkat jadi 10 jam kerja, kesalahannya langsung naik hampir 3 kali lipat, yakni 28%.
Dalam studi lebih jauh, konsultan SDM itu menyebutkan bahwa waktu ideal bekerja dalam seminggu adalah 40 jam kerja.
Artinya, jika dirata-rata, dalam 5 hari kerja, maka sehari akan ideal jika ditempuh 8 jam kerja. Namun, mereka juga menyebut, bagi sebagian individu, waktu 40 jam kerja seminggu ini bisa berbeda-beda porsinya. Ada kalanya, orang bekerja maksimal hingga 12 jam sehari, sementara di lain waktu, ia hanya bekerja maksimal 4 jam sehari. Jadi, kembali lagi bergantung pada diri kita untuk menentukan masa yang tepat, kapan saatnya bekerja lembur, kapan saatnya istirahat.
• Menunda? Itu hal yang biasa….
Banyak kiat yang mengajarkan pada kita bahwa menunda adalah hal yang keliru. Menunda hanya akan membuat kita “tersiksa” dan akhirnya menyisakan tumpukan pekerjaan. Karena itu, hal terbaiknya adalah selesaikan pekerjaan sesegera mungkin dan jauhi sikap menunda. Semua itu sama sekali tak salah. Namun sebagai manusia biasa, akuilah bahwa sesekali menunda adalah “pekerjaan”yang menyenangkan (baca: membuat relaks).
Di sini, batasan antara malas dan ingin relaks sejenak memang sangat tak jelas. Untuk itu, sebenarnya kita sendirilah yang bisa mengukur, di mana batasan itu. Jika memang tubuh hendak relaks, jangan paksakan bekerja. Toh, hasilnya mungkin hanya akan begitu-begitu saja. Karena itu, cobalah “negosiasi” ulang dengan siapa saja yang mungkin akan terkena “dampak” penundaan pekerjaan itu. Pastikan mereka tetap mendapat solusi atas kondisi yang kita alami, sehingga kita tidak dicap kurang profesional. Salah satu kiat yang bisa dicoba adalah memberikan tenggat waktu melebihi yang biasanya. Misal, kita sebenarnya merasa sangat bisa menyelesaikan suatu pekerjaan 5 hari, bicarakan agar kita bisa mendapat waktu kerja sampai 6 atau 7 hari. Saat kita bisa benar-benar selesai hanya dalam waktu 5 hari, kita justru akan mendapat kredit plus sebagai pekerja yang efisien. Tapi kalau selesai dalam waktu 6 atau 7 hari pun kita tak akan dapat masalah.
Sekali lagi, pembahasan tentang produktivitas kerja para karyawan pandai ini memang membutuhkan perenungan. Jadi, jangan semuanya ditelan mentah-mentah. Setiap orang pasti punya batasan-batasan yang bisa diukur dan diterima dengan caranya masing-masing. Selamat bekerja…
Terimah kasih telah berkunjung ke blog kami dan semoga article ini bermanfaat
Good Luck Dan tetimah kasih berkunjung ke blog : http://gaknyangkah.blogspot.com/
Lantas, bagaimana agar kita mampu meningkatkan produktivitas sebagai seorang karyawan yang pandai? Silakan duduk sejenak, relaks, baca, dan renungkan pelan-pelan beberapa “pengkondisian” berikut ini. Anda boleh setuju maupun tidak.
Sebagai manusia biasa, kita tak lepas dari rasa lelah dan bosan. Hanya dengan sikap yang positif, kita akan melalui semua itu dan bisa menjadi seorang karyawan yang pandai. Bagaimana caranya?
Dalam istilah bahasa Jawa, ada “pembedaan” jenis kerja berdasar akal dan okol. Okol diterjemahkan sebagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga — buruh, kerja pabrik, pekerja bangunan, dan sejenisnya — sehingga yang paling utama adalah kemampuan tubuh untuk terus bekerja hingga mencapai produktivitas sesuai daya tahan otot-otot tubuh. Sedangkan kerja berdasar akal adalah kerja berbasis otak. Di sini yang berperan paling besar adalah pekerjaan yang membutuhkan pemikiran. Inilah yang menurut profesor ahli konsultan manajemen, Peter Drucker, sering disebut sebagai karyawan pandai alias pekerja dengan dasar pengetahuan.
Memang, belakangan ini pembedaan kerja berdasar akal dan okol sering kali tak bisa dipisahkan secara tegas. Sebab, kerja akal pun sering membutuhkan tenaga dan stamina. Bahkan, kadang kala, kerja berdasar akal ini malah sebenarnya sangat menguras tenaga — dan pemikiran tentunya — melebihi tenaga kerja berbasis okol semata. Untuk itu, bagi yang bekerja dengan dasar pemikiran ini, harus pandai-pandai memaksimalkan (baca: memanfaatkan) waktu untuk meningkatkan produktivitas kerja. Sebab, pola kerja karyawan yang pandai dibanding yang hanya bekerja berdasar tenaga saja memang tak bisa dikuantifikasi dengan cara yang sama. Mengapa? Menurut Alexander Kjerulf, konsultan manajemen SDM, mood sering kali berperanan. Maka, Kjerulf sering menyatakan bahwa sangat manusiawi karyawan pandai menyebut “Ah., sedang tidak mood” atau bahkan, menunda pekerjaan pun sebenarnya bagian dari hal manusiawi seorang karyawan pandai.
Yang jelas, justru di sinilah letak “keunikan” para karywan pandai untuk merespons masukan seputar produktivitas kerja…
• Lupakan jargon “Kerja Keras”
Banyak opini dan kiat-kiat yang ditawarkan, bahwa kerja keras akan mengarahkan kita pada keberhasilan. Tak salah. Tapi, mesin hebat sekelas Ferrari pun butuh istirahat. Salah satu mobil terkencang di jagat itu pun tak bisa lari kencang selamanya. Maka, jika Anda menemukan kata- kata… “Kerja lebih panjang, dan selesaikan lebih banyak pekerjaan”, “Tambahkan orang hebat, maka pekerjaan akan lebih cepat terselesaikan”, “Produktivitas bisa ditingkatkan dengan mengatur jadwal”, camkan baik-baik bahwa mereka yang memberikan wejangan itu pun juga manusia biasa yang pasti pernah lelah, capai, dan tidur. Sadari bahwa kita punya keterbatasan, namun jangan membatasi diri. Di sini kita sendirilah yang bisa menentukan, mana yang paling baik untuk memaksimalkan kerja, mana pula saat harus beristirahat.
• Jangan “terpancing” teori-teori manajemen
Ada banyak buku yang membahas mengenai manajemen SDM. Ada banyak opini dari para pakar bagaimana meningkatkan produktivitas kerja. Silakan camkan baik-baik dan praktikkan. Tapi harus diingat pula bahwa masing-masing orang —termasuk para pakar yang menulis buku itu — sebenarnya punya standar tersendiri dalam menyikapi keadaan.
Akuilah bahwa diri kita sering bekerja maksimal — bahkan nyaris tak tidur — tetapi di saat yang berbeda kita bahkan bekerja sangat minimal, bahkan terasa sangat ingin terus bermalasan. Ini sangat manusiawi. Yang paling bisa kita lakukan adalah “menemukan” di mana batas kita bisa “bernegosiasi” dengan diri sendiri, ukuran waktu kerja yang pantas untuk diri sendiri. Saat mood sedang berada di puncak, silakan kerja semaksimal mungkin. Saat sedang ingin bermalasan, cobalah relaks sejenak. Bisa jadi, saat bermalasan itu malah membuat kita punya pikiran cemerlang yang akan mampu membuat kita bangkit dan segera menyelesaikan semua pekerjaan.
• Jangan paksakan “kerja lembur”
Banyak orang yang bekerja melebihi jam kerja. Bahkan tak jarang sebuah kantor menempelkan poster besar-besar bertuliskan “Pantang datang terlambat, malu pulang lebih cepat!” Tak salah memang. Bahkan, bagi sebagian orang, kerja lembur sudah jadi kebiasaan. Tapi sebenarnya, “kunci” dari sukses seorang karyawan yang pandai justru terletak pada seberapa ideal porsi waktu istirahatnya. Banyak ahli medis menyebut waktu ideal istirahat adalah 8 jam. Dengan istirahat yang cukup, tubuh bisa tetap bugar sehingga kerja otak pun lebih maksimal. Sebuah studi dilakukan oleh Ethan W. Associate, sebuah konsultan SDM yang sudah berdiri sejak 1977 di Amerika Serikat. Menurut perusahaan itu — ketika mereka melakukan penelitian di tahun 1991 — pekerja yang melakukan tugas sepanjang 8 jam sehari, tingkat kesalahan kerja mencapai 10%. Namun, begitu meningkat jadi 10 jam kerja, kesalahannya langsung naik hampir 3 kali lipat, yakni 28%.
Dalam studi lebih jauh, konsultan SDM itu menyebutkan bahwa waktu ideal bekerja dalam seminggu adalah 40 jam kerja.
Artinya, jika dirata-rata, dalam 5 hari kerja, maka sehari akan ideal jika ditempuh 8 jam kerja. Namun, mereka juga menyebut, bagi sebagian individu, waktu 40 jam kerja seminggu ini bisa berbeda-beda porsinya. Ada kalanya, orang bekerja maksimal hingga 12 jam sehari, sementara di lain waktu, ia hanya bekerja maksimal 4 jam sehari. Jadi, kembali lagi bergantung pada diri kita untuk menentukan masa yang tepat, kapan saatnya bekerja lembur, kapan saatnya istirahat.
• Menunda? Itu hal yang biasa….
Banyak kiat yang mengajarkan pada kita bahwa menunda adalah hal yang keliru. Menunda hanya akan membuat kita “tersiksa” dan akhirnya menyisakan tumpukan pekerjaan. Karena itu, hal terbaiknya adalah selesaikan pekerjaan sesegera mungkin dan jauhi sikap menunda. Semua itu sama sekali tak salah. Namun sebagai manusia biasa, akuilah bahwa sesekali menunda adalah “pekerjaan”yang menyenangkan (baca: membuat relaks).
Di sini, batasan antara malas dan ingin relaks sejenak memang sangat tak jelas. Untuk itu, sebenarnya kita sendirilah yang bisa mengukur, di mana batasan itu. Jika memang tubuh hendak relaks, jangan paksakan bekerja. Toh, hasilnya mungkin hanya akan begitu-begitu saja. Karena itu, cobalah “negosiasi” ulang dengan siapa saja yang mungkin akan terkena “dampak” penundaan pekerjaan itu. Pastikan mereka tetap mendapat solusi atas kondisi yang kita alami, sehingga kita tidak dicap kurang profesional. Salah satu kiat yang bisa dicoba adalah memberikan tenggat waktu melebihi yang biasanya. Misal, kita sebenarnya merasa sangat bisa menyelesaikan suatu pekerjaan 5 hari, bicarakan agar kita bisa mendapat waktu kerja sampai 6 atau 7 hari. Saat kita bisa benar-benar selesai hanya dalam waktu 5 hari, kita justru akan mendapat kredit plus sebagai pekerja yang efisien. Tapi kalau selesai dalam waktu 6 atau 7 hari pun kita tak akan dapat masalah.
Sekali lagi, pembahasan tentang produktivitas kerja para karyawan pandai ini memang membutuhkan perenungan. Jadi, jangan semuanya ditelan mentah-mentah. Setiap orang pasti punya batasan-batasan yang bisa diukur dan diterima dengan caranya masing-masing. Selamat bekerja…
Terimah kasih telah berkunjung ke blog kami dan semoga article ini bermanfaat
Good Luck Dan tetimah kasih berkunjung ke blog : http://gaknyangkah.blogspot.com/