Asal Usul Sang Kiai
Diantara istilah yang ada di negeri kita yang kebanyakan kita mengetahuinya adalah istilah Kyai. Terkadang dieja dengan Kiai. Terkadang juga disingkat dengan julukan Ki. Meskipun termasuk istilah yang sangat populer, istilah Kyai ini masih mengandung banyak misteri.
Diantara istilah yang ada di negeri kita yang kebanyakan kita mengetahuinya adalah istilah Kyai. Terkadang dieja dengan Kiai. Terkadang juga disingkat dengan julukan Ki. Meskipun termasuk istilah yang sangat populer, istilah Kyai ini masih mengandung banyak misteri.
Ketika kita ditanya tentang apa itu Kyai, tak banyak dari kita yang bisa menyebutkan pengertian Kyai kecuali satu pengertian saja yang juga masyhur di kalangan kita yakni Kyai adalah sebutan lain untuk ulama atau orang yang memiliki ilmu agama secara mendalam yang juga diharapkan bisa menjadi panutan. Itulah pengertian yang lumrah di masyarakat kita secara kebanyakannya.
Dari pengertian ini, Kyai sama pengertiannya dengan Buya bagi masyarakat Sumatera Barat dan sekitarnya; Ajengan bagi masyarakat Jawa Barat (Sunda); Teungku bagi masyarakat Aceh; Tofanrita bagi masyarakat Sulawesi Selatan; Tuan Guru bagi masyarakat Lombok dan Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Semua istilah itu sama secara pengertian, namun berbeda dari segi penamaan.
Itu adalah salah satu pengertian yang sudah lumrah di masyarakat kita. Namun pengertian itu bukanlah satu-satunya pengertian dari istilah Kyai ini. Istilah Kyai juga dikenal masyarakat sebagai tokoh yang memimpin sebuah pondok pesantren. Di masyarakat Jawa, ada sebuah dogma yang membedakan antara kedudukan ustadz dengan Kyai. Dalam bahasa Arab, ustadz maknanya adalah guru yang kemudian dipersempit pengertiannya oleh masyarakat Indonesia sehingga sebutan ustadz hanya disematkan kepada orang-orang yang mengajarkan ilmu agama dalam masyarakat, atau orang-orang yang religius.
Adapun Kyai, di masyarakat Jawa, kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan ustadz. Ada begitu banyak ustadz yang mengajarkan ilmu agama, akan tetapi kebanyakan mereka tidak memiliki pondok pesantren. Di masyarakat Jawa, kyai sebagai sosok pemilik dan pemimpin sebuah pondok pesantren akan merekrut para ustadz sebagai dewan pengajar para santri. Biasanya, para ustadz itu direkrut dari para santrinya yang sudah dianggap mumpuni dalam memberikan pengajaran kepada santri-santri tingkat bawah. Dan tidak jarang kita temukan dalam sebuah pondok pesantren terdapat lebih dari seorang kyai, seperti pesantren-pesantren yang berada di Kabupaten Jombang – Jawa Timur dan di daerah lainnya.
Penamaan Kyai juga disematkan kepada para dukun dan penjaja barang-barang perklenikan. Atau biasa disingkat dengan sebutan “Ki”. Mereka inilah Kyai dukun yang dipercaya memiliki kekuatan mistis dan mengetahui perkara yang ghaib seperti nama Ki Joko Bodo yang merupakan dukun ternama penjaja kesyirikan. Dalam bukunya yang berjudul “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali” halaman 193, KH. Mahrus Ali menyebutkan sebuah kisah Kyai dukun yang memiliki kemampuan menebak isi tambak. Karena dipercaya memiliki kemampuan ghaib ini, para penambak ikan seringkali meminta bantuannya untuk menebak dan meminta kepadanya agar panen ikan mendapat hasil yang banyak. Kyai dukun ini tidak mau disebut sebagai kyai dukun. Dia hanya mau disebut sebagai kyai saja.
Penamaan Kyai juga diberikan kepada benda-benda pusaka yang dikeramatkan, semisal keris, tombak, batu akik dan sebagainya. Sebagai contoh adalah keris yang dinamakan dengan Kyai Sengkelat. Kyai Sengkelat adalah nama julukan bagi sebilah keris yang konon kabarnya merupakan karya Mpu Supa Mandagri, salah satu santri Sunan Ampel. Keris pusaka ini mempunyai lekukan (liuk) berjumlah tiga belas yang diciptakan pada zaman Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Brawijaya V alias Prabu Kertabhumi (1466-1478).
Selain keris Kyai Sengkelat, kita juga mengenal sebilah keris yang bernama Kyai Jangkung yang dipercaya memiliki energi untuk keselamatan, anti daya negatif, penatas, singkir (menyingkirkan hujan, halangan, rintangan), nyiwer (mendatangkan tamu) melancarkan dan menderaskan datangnya rezeki. Keris ini adalah sebuah keris jimat yang diperjualbelikan. Mahar (harga) yang tercantum adalah sebesar Rp 49.999.000.
Selain pusaka tersebut, ada juga pusaka yang berasal dari jenis binatang yang dinamakan dengan Kyai Slamet. Kyai Slamet adalah benda pusaka milik Keraton Kasunanan Surakarta berupa kerbau. Biasanya, kerbau memiliki warna hitam, akan tetapi Kyai Slamet ini adalah kerbau yang memiliki warna kulit putih kemerahan sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Kerbau Bule. Karena Kyai Slamet adalah benda pusaka milik Keraton Kasunanan Surakarta, maka kerbau ini mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa. Ketika Kyai Slamet memakan tanaman milik warga, maka para warga tidak berani mengusirnya.
Ketika Kyai Slamet ini memakan barang dagangan dari warga, para warga tersebut pun tidak ada yang berani mengusirnya. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, para warga akan merasa sangat senang jika ada dagangannya yang dimakan oleh Kyai Slamet karena hal itu menandakan keberkahan akan turun kepada mereka. Tidak hanya sampai disitu saja, bahkan hal lain yang sangat tidak rasional dan tidak bisa dicerna oleh akal sehat manusia normal, kotoran Kyai Slamet ini diperebutkan oleh para warga. Untuk mendapatkan keberkahan, begitu keyakinan mereka.
Kyai Slamet telah mati. Apakah tradisi itu berhenti sampai disitu? Ternyata, sebelum kematian Kyai Slamet, kerbau ini sempat memiliki keturunan, yakni dua ekor kerbau bule yang bernama kyai Welas dan Nyi Asih. Kyai adalah julukan untuk laki-laki, atau jantan untuk kerbau bule ini. sedangkan Nyai atau cukup dengan panggilan Nyi adalah julukan untuk perempuan, atau betina. Biasanya julukan Nyai ditujukan kepada istri para Kyai.
Atau juga benda pusaka yang berbentuk bendera yang dinamakan dengan Kyai Tunggul Wulung. Kyai Tunggul Wulung adalah sebuah bendera pusaka yang dikeramatkan yang hanya dikeluarkan oleh pihak kraton Yogyakarta ketika ada bala’ musibah yang akan datang melanda.
Disamping itu, sebutan kyai juga diberikan kepada sosok-sosok ghaib. Sosok ghaib yang dimaksud adalah para sosok Jin. Biasanya, sosok ini adalah pemilik kekuatan atau penguasa di sebuah wilayah tertentu. Peristiwa meletusnya gunung Merapi beberapa waktu yang lalu adalah salah satu bukti adanya keyakinan masyarakat tentang adanya sosok ghaib yang memiliki kekuatan yang menguasai wilayah-wilayah tertentu di gunung Merapi. Sosok mbah Petruk atau Kyai Petruk yang sempat heboh beberapa waktu yang lalu ketika terjadi bencana letusan gunung Merapi adalah salah satu contohnya.
Di antara contoh yang lain adalah Kyai Sapu Jagad. Kyai Sapu Jagad diyakini sebagai salah satu sosok penunggu gunung Merapi. Dikatakan bahwa masyarakat sekitar gunung Merapi mempercayai bahwa gunung api tersebut memiliki nyawa sebagai penunggunya, yaitu Kyai Sapu Jagad. Maka, untuk menghindari kemarahan sang penunggu, masyarakat sekitar perlu mengadakan ritual dan juga memberikan sesaji.
Itu semua adalah sosok dari dedemit yang diagung-agungkan dan diibadahi dari kalangan dedemit laki-laki. Adapun sosok para wanitanya kita mengenal sosok Nyi Roro Kidul, atau yang dikenal dengan Ratu Pantai Selatan yang dipercaya sebagai penguasa Laut Selatan Jawa. Banyak cerita mistis yang beredar berkenaan dengan Nyi Roro Kidul. Akan tetapi cerita-cerita tersebut merupakan khurafat dan tahayyul yang dilarang dalam agama kita karena bisa mengotori aqidah umat.
Tidak Diketahui Asal-Usulnya
Itu semua adalah beberapa penamaan dengan menggunakan istilah Kyai sekaligus penggunaannya. Lalu, sebuah pertanyaan yang tak kalah pentingnya muncul di benak kita adalah dari mana istilah Kyai berasal?
Hartono Ahmad Jaiz menukilkan berkataan buya Hamka mengenai asa-usul dari istilah Kyai ini. Buya Hamka mengungkapkan, “Kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.”
Bukan hanya di Jawa saja yang menggunakan istilah Kyai ini. Dahulu di Sumatera Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, pernah ada julukan Kyai untuk orang Cina yang telah tua dan dihormati. Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.
Sungguhpun tidak diketahui asal-usulnya, sebutan Kyai ini menjadi sebuah hal yang sudah lumrah di masyarakat kita. Kita tidak bisa mengklaim bahwa istilah ini berasal dari bahasa Jawa karena tidak adanya bukti. Demikian juga klaim dari bahasa-bahasa lainnya.
Siapa Yang Berhak Memberikan Julukan Kyai?
Di setiap masa, seseorang yang mendapatkan predikat Ulama adalah seseorang yang mendapatkan rekomendasi ulama’ lainnya yang lebih tinggi keilmuannya. Hanya ulama sajalah yang berhak merekomendasikan ulama lain. Tentunya hal itu dilihat dari segi keilmuan yang dimilikinya dari ‘ulumusy syar’iyyah (ilmu-ilmu syari’at). Maka, tidak sembarang orang bisa merekomendasikan dan mengatakan bahwa seseorang itu adalah ulama atau bukan. Begitulah seharusnya.
Berbeda dengan hal di atas, pemberian julukan Kyai di masyarakat kita tidak memiliki ketentuan yang baku. Hanya tiba-tiba saja gelar itu tersandang di pundak seseorang. Tidak hanya seorang Kyai yang merekomendasikan orang lain sebagai Kyai, masyarakat awam pun ikut andil dalam menyematkan gelar atau julukan Kyai kepada orang lain yang mereka sepakati.
Saya mendapati fenomena ini terjadi di masyarakat kita ini. Dan begitulah realitanya. Di kampung tempat tinggal saya yang sekarang ini, seseorang telah mendapatkan julukan Kyai. Beliau adalah seseorang yang tidak terlalu tua, dan beliau telah meninggal dunia. Jika dilihat dari kualitas keilmuannya, sungguh sangat jauh dari standard ulama. Bacaan Al-Qur’annya tidak beres, shalatnya tidak beres, terkesan asal-asalan. Intinya, sangat jauh dari harapan.
Saya juga memiliki seorang sepupu lulusan Pondok Pesantren di Jombang yang mendapatkan gelar Kyai dari masyarakat kampung. Saya mengetahui hal ini dari sebuah surat yang datang dari sebuah masjid. Sebuah surat edaran masjid yang memberitahukan tentang khatib pada hari ‘Ied yang mana khatib tersebut adalah sepupu saya tersebut. Dalam surat tersebut tertulis nama sepupu saya yang di depannya terdapat tulisan Kyai. Dan saya sendiri juga seringkali dipanggil dengan panggilan Pak Kyai (orang Jawa biasanya melafalkannya dengan lafazh “Pak Yai”).
Tidak adanya ketentuan khusus dalam memberikan gelar Kyai inilah yang menjadikan kacau balaunya tatanan masyarakat kita. Seseorang yang semestinya tidak pantas menyandang gelar Kyai (dalam artian seorang ulama), di masyarakat disebut dengan gelar demikian sehingga tidak heran banyak bermunculan ulama’ Suu’, yakni orang-orang yang tidak pantas didudukkan sebagai ulama namun mereka telah dikenal sebagai ulama sehingga mereka memberikan fatwa tidak di atas landasan ilmu.
Kesimpulan
Setelah melihat fenomena yang ada di masyarakat, saya mengambil sebuah kesimpulan tentang apa dan siapa yang mendapatkan gelar Kyai, yakni seseorang atau sesuatu yang memiliki linuwih (sesuatu yang lebih). Linuwih itu bisa berupa keilmuannya di bidang agama, kekuatan mistis, kemampuan untuk mengetahui hal ghaib, kemampuan untuk mendatangkan keberkahan dan lain sebagainya. Kita misalkan saja, seseorang pemimpin pondok pesantren mendapatkan gelar Kyai karena disamping dia punya linuwih di bidang ilmu agama, dia juga memiliki linuwih lain yakni memiliki atau memimpin pondok pesantren. Kerbau bule yang dinamakan Kyai Slamet dinamakan Kyai karena kerbau ini memiliki linuwih menurut pandangan masyarakat. Para kyai dukun dijuluki dengan kyai karena mereka juga memiliki linuwih berupa klaim mengetahui perkara ghaib. Begitu seterusnya. Allahua’lam bish shawab.
Referensi tulisan: Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali oleh H. Mahrus Ali, Bila Kiyai Menjadi Tuhan – Membedah Faham Keagamaan NU & Islam Tradisional oleh Hartono Ahmad Jaiz, Wikipedia dan sumber lainnya.
Terimah kasih telah berkunjung ke blog kami dan semoga article ini bermanfaat
Good Luck Dan tetimah kasih berkunjung ke blog : http://gaknyangkah.blogspot.com/
Terimah kasih telah berkunjung ke blog kami dan semoga article ini bermanfaat
Good Luck Dan tetimah kasih berkunjung ke blog : http://gaknyangkah.blogspot.com/